Jumat, Desember 19, 2008

Pepes : Dictionary of Qaisha

Ada beberapa kata yang memiliki 2 vokal “i” dalam satu kata itu diucapkan jadi “e” sama Qaisha. Contoh yang paling sering banget disebut adalah “Pepes” untuk “Pipis” dan "Meme" untuk “Mimi”. Tapi untuk kata “Gigi”, “Inci” (baca: Kelinci) bisa diucapkan dengan fasih dan benar. Pun begitu Qaisha juga punya kosa kata sendiri yang tidak umum untuk orang umum (duh apa sih?), dan yang paling sering dipakai adalah “Dudut” untuk “Gigit”. Kegemaran ayah yang sukat Dudut eh gigit pantatnya (maaf) Qaisha yang bikin satu kata itu selalu terdengar di seantero rumah. Maka jangan bingung kalo Qaisha bilang “Meong dudut” itu maksudnya “Kucing gigit”.

Oh iya, “Meong” itu maksudnya “Kucing”. Untuk binatang sejauh ini baru bisa menyebutkan nama “Kambing” ("Mbing")dan “Kelinci” ("Inci") saja. Untuk binatang lainnya Qaisha lebih senang menyebutkan berdasarkan suaranya, seperti “Kwek kwek” untuk Bebek, “Guk guk” untuk Anjing, “A a’ u u’” untuk Monyet, “Kuk kuk” (Kukuruyuk maksudnya) untuk Ayam Jantan, “Petok petok” untuk Ayam Betina, “Aum” untuk Harimau, “Kok kok” untuk Katak yang diikuti dengan menggerakaan tangan kanan berada di depan leher yang merupakan BSL (British Sign Language) untuk Frog, “Moo” untuk Sapi, “Moo” juga tapi untuk Gajah yang diikuti dengan menaruh tangan di depan hidung untuk menggambarkan belalai Gajah, lalu special case untuk Kuda adalah suara “Gedbek gedbek” yang juga diikuti oleh gerakan kepala ke atas ke bawah untuk menggambarkan sedang naik kuda. Ehm…apa lagi ya? Ah ya, untuk kuda kadang Qaisha juga bersuara “Bang..bang..ini..bang” (Bang..bang sini bang)…hahaha.…maksudnya manggil tukang delman yang lagi lewat di depan rumah…hehehe…

Waktu usianya masih setahun beberapa binatang itu punya gerakannya sendiri-sendiri. Seperti kalau menyebut Kelinci Qaisha akan meletakkan kedua tangannya di atas kepala untuk menggambarkan telinga Kelinci, menyatukan kedua tangan untuk Burung, meletakkan tangan di ketiak lalu mengepak-ngepakkannya untuk Bebek, meletakkan satu tangan di depan hidung dan satunya lagi di telinga untuk Gajah yang sekarang tinggal gerakan di depan hidung saja, menggaruk garuk badan dan kepala untuk Monyet dan tentu saja gerakan yang masih bertahan adalah gerakan untuk Katak.

Beberapa gerakan tersebut devi ambil berdasarkan BSL /dan ASL (American Sign Language) juga gerakan yang biasa digunakan dalam mendongeng untuk menggambarkan salah satu binatang. Sebenarnya gerakan ini lumayan membantu devi dalam memahami apa yang lagi dimaui Qaisha atau yang sedang “dibicarakan” Qaisha. Ini bisa juga disebut sebagai Baby Sign Language. Lebih jauh tentang Baby Sign Language bisa dilihat
di sini. Tapi seiring berjalannya waktu gerakan-gerakan itu semakin jarang dipakai Qaisha dan lebih banyak berekspresi melalui kata-kata. Dan tentu saja, kata-kata itu punya kamusnya sendiri yang tidak beredar di pasaran...hehehe....

Kamis, Desember 11, 2008

Sabtu itu…

Sabtu tanggal 6 Desember 2008 kemarin devi kembali ke RSCM. Dongeng terakhir devi di RSCM untuk tahun ini. Devi dijadwalkan mendongeng bersama mba Erika dan 2 mahasiswa UIN. Tak banyak persiapan yang devi lakukan. Hanya membawa 3 buku Tikus yang sempat teraih tangan. Malamnya sempat baca-baca cerita yang pernah diajarkan sebentar. Pinginnya sih praktek dulu di depan Qaisha, tapi malaikat mungil devi itu udah keburu rewel karena ngantuk. Ya udah jadilah devi ikut-ikutan tidur juga.

Di atas patas AC 16 devi baca-baca lagi cerita dan 3 buku yang devi bawa. Mengira-ngira gimana devi akan bawain ceritanya. Sedang asik-asiknya masyuk dengan berbagai dongeng dikepala, tiba-tiba ada suara yang menegur ramah dari samping. Oo ternyata pengamen langganan patas AC 16. Ia memang terkenal sangat ramah. Setiap orang yang ditemuinya pasti disapanya dengan ramah. Suaranya sangat khas, serak-serak yang memberatkan tarikan nafas (duh apa sih?). Pokoknya khas deh. Posturnya memang agak tambun, tapi gerakannya lumayan lincah. Setiap penumpang patas AC 16 pasti kenal dengan sosok yang satu ini. Hampir setiap pagi sebelum bis berangkat pasti terdengar suaranya yang sedang asyik ngobrol dengan penumpang yang duduk di kursi belakang. Tapi sampai sekarang devi masih tidak tahu harus memanggilnya dengan panggilan “mbak” atau “mas”. Kalo mau panggil “mas” dia masih terlalu feminim, tapi memanggil dengan “mbak” juga ga pas karena terlalu maskulin. Dari suaranya pun sulit ketahuan karena untuk suara laki-laki, suaranya ga berat, tapi kalo untuk perempuan suaranya juga ga lembut layaknya suara perempuan.

Nah baru hari sabtu itu devi bisa ngobrol dengan “mbak” atau “mas” pengamen ini. Kebetulan devi duduk sendirian di bangku untuk 3 orang. Selesai ngamen dia duduk di sebelah devi lalu mulai bercerita tentang dirinya dan jadwalnya hari itu. Hari itu dia ada janji ketemu orang di Menteng untuk urusan nganter barang ke luar kota. Kemarin dia baru nganter cabe ke Wonosobo dan sampe Jakarta pagi lalu langsung ngamen. Lalu ia juga bercerita bahwa dia sudah pernah ke berbagai kota untuk ngamen. Pernah di Surabaya 4 tahun, Madura sekian tahun, Batam sekian tahun, Deli Serdang sekian tahun, dan untuk semua kota itu pekerjaanya adalah mengamen; atau mungkin kerja serabutan lain. Namun di sisi lain ia adalah orang yang sangat religius. “Saya tidak bisa lepas dengan Tuhan,” katanya suatu kali. Direncananya hari itu pun ada jadwal ke tempat ibadahnya. Menurutnya hidup harus dibuat easy going, “Make it happy aja.”

Devi pun akhirnya mengajak dia ke RSCM dan dia pun tertarik, tapi karena ia sudah ada janji, tidak mungkin mengabulkan undangan mendadak devi. “Bulan depan ya,” katanya bersungguh-sungguh. Hmm…InsyaAllah kalo devi ada adwal ke RSCM dan pas ketemu dia seperti hari itu. Pasti menyenangkan kalo dia bisa ikut ke acara dongeng di RSCM. Pembawaannya yang periang pasti bisa menghibur anak-anak. Dan di taman Suropati pun ia turun.

Sampai di RSCM devi menunggu teman-teman yang lain. Sambil menunggu devi naik ke lantai atas untuk melihat anak-anak yang sedang di rawat, tapi ternyata pintu masuk yang biasanya kami gunakan dikunci. Waduh harus lewat mana jadinya?. Tak lama kemudian Ardian datang dan kami pun menunggu mba Erika. Jam menunjukkan pukul 10.20wib ketika mba Erika datang dan kami pun berputar-putar mencari jalan lain menuju ruang rawat inap kelas 3. Kami mengikuti petunjuk pak satpam dan yang devi ingat hanya belok kanan aja terus. Ga inget tuh ada taman atau ketemu perempatan FKUI dan RSCM, wis pokoknya klo ada belokan ambil kanan aja…hehehe… Dan pak satpam juga ga bilang klo tangga menuju ke ruangan IRNA itu pas hadap-hadapan dengan lorong ke kamar mayat. Wah klo salah belok, salah kamarnya bukan ke sembarang kamar, tapi ke kamar mayat…hiiii…

Alhamdulilah kami ketemu juga dengan kamar IRNA kelas 3 tempat biasa kami dongeng setelah celingak celinguk sana sini. Kami ijin dulu dengan suster yang menjaga. Tanggapan perawat yang acuh dan tidak peduli sudah biasa kami temui. Justru kalau ketemu suster penjaga yang ramah dan dengan senang hati menerima kami mendongeng atau bahkan ikut mendengarkan dongeng itu menjadi hal yang sangat luar biasa sekali.

Di tengah ruangan, mba Erika memperkenalkan diri dan tujuan kami datang ke sana. Dua orang anak kemudian berkumpul ditengah ruangan supaya lebih dekat dengan kami. Selebihnya tetap di tempat tidur. Devi memulai cerita dengan menggunakan buku. Buku cerita keluarga Tikus yang devi bawa ada boneka jarinya yang dimainkan dengan cara menyelipkannya ketika akan membuka halaman berikutnya. Maka devi meminta bantuan anak-anak dibagian itu untuk mengeluarkan si Tikus yang terjepit sebelum masuk ke halaman berikutnya. Cerita ini lumayan juga sebagai ice breaker.

Setelah itu tiba-tiba ada seorang anak yang minta cerita burung. “Burung apa aja,” katanya mengulang. Putar otak sana sini ga ketemu juga cerita burung yang devi tahu. Sementara itu mba Erika melanjutkan dengan cerita jari. Mencoba mengalihkan permintaan anak tadi dengan cerita kelinci. Tapi setelah cerita jari itu dia tetap minta cerita burung. Otak ini terus mengais-ngais ingatan tentang cerita yang devi kenal yang berhubungan dengan burung. Ada satu cerita burung yang devi kenal, yaitu Bunting Bird, tapi jalan ceritanya devi ga inget. Ah sebel banget! Akhirnya devi cari cerita yang mendekati saja, yaitu dongeng nyamuk yang menggunakan tali…hehehe.. jauh sebenernya dari burung, tapi kan sama-sama bisa terbang…hahaha…maksa. Sedih juga ga bisa memenuhi permintaan si anak tadi.

Selesai tiga cerita dia atas lalu dilanjutkan dengan kegiatan bikin kerajinan tangan. Kali ini bikin nama dengan menggunakan kertas hias. Untuk kegiatan ini beberapa ibu-ibu cukup antusias membuatkan nama untuk nama anak-anak mereka. Banyak yang minta lem, gunting dan kertas hiasnya. Lumayanlah buat menghilangkan rasa jenuh mereka dengan suasana rumah sakit.

Tapi entah kenapa hari itu banyak sekali yang berteriak kesakitan. Disela-sela cerita beberapa kali terdengar tangisan anak yang juga diikuti dengan teriakan…”sakit…sakit..” Duh sedih banget rasanya. Devi jadi ga konsen cerita jadinya. Hati ini rasanya periiih banget. Ga kebayang gimana kalo devi yang berada di posisi mereka. Ada satu pasien yang sepertinya sudah cukup besar yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan tiba berteriak-teriak dengan gumaman yang tidak jelas. Duh bener-bener deh ga tega. Baru sekali itu dongeng di RSCM bertemu dengan kondisi yang seperti itu. Benar-benar harus siap menghadapi segala situasi…terutama mental nieh.

Ada peraturan baru sekarang di RSCM. Sekarang tidak boleh lagi mengambil foto, entah kenapa alasannya. Devi sempat mengambil beberapa gambar tapi tak berapa lama suster penjaga sudah menegur kami. Mungkin takut disalah gunakan atau apa. Atau memang sekarang udah tambah ketat ya di sana. Pintu akses yang biasanya kami lewati yang hari itu tiba-tiba dikunci, juga pelarangan ini mungkin salah satu pengetatan itu. Entahlah.. Hanya foto-foto ini yang sempat kami ambil.

Yang jelas sabtu itu sudah membawa cerita baru dalam hidup devi. Dan devi diberi kesempatan bertemu dengan orang-orang baru yang memberi nuansa tersendiri di sudut memori dan relung hati ini…

Jumat, Desember 05, 2008

Book : Catatan Hati Seorang Istri

Baru aja selesai baca buku Catatan Hati Seorang Istri. Berbagai kisah tentang wanita dan dibalik perannya sebagai seorang istri. Menyentuh...

Berikut ini beberapa kutipan yang membuat devi berpikir, tersentuh, merenung. I always made this kind of note from the book I’ve read. They usually bear in my mind forever, whether its something enlighten or disapprove.

Catatan Hati Seorang Istri/Asma Nadia.- Depok: Lingkar Pena Kreativa, 2007.
130hlm; 20,5cm.

…Khawatir akan iman dan keikhlasan yang tidak seberapa. Ragu akan kemandirian, karena bertahun-tahun saya merasa dimanjakan dan menjadi tergantung kepada pasangan dalam banyak hal. Kesiapan menghadapi apapun takdir-Nya, sungguh bukan perkara mudah. (Hal vii)

“… Jika saya menikah lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu… karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa yang di luar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu. Hubungan sebelum pernikahan yang sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak kejadian seperti itu.”
Benar sekali, komen saya dalam hati.
“Yang kedua, pak?”
Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya dengan pandangan serius.
“Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan abadi.”
Saya melihat Pak Haris menarik napas panjang, sebelum menuntaskan kalimatnya.
“Sekarang, bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya sudah pasti dan permanen?” (Hlm 5)

Tidak cantik dan karenanya tidak bisa mencintai?
Lihat Rasulullah yang bersedia menikahi perempuan yang 25 tahun lebih tua darinya, bahkan ada yang lebih tua dari itu.
Lihat para sahabiayah… perempuan yang menerima pinangan Bilal Bin Rabah!
(Hal 15)

Laki-laki.
Tetap saja saya tidak mengerti. (Hal 43)

Apakah para lelaki yang berpoligami, mereka yang beralasan menikah lagi dengan kerangka sunnah Nabi atau alasan mulia lain, pernah sekejap saja merenung bahwa tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang coba diobati oleh perempuan, tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama? (Hal 112)

“Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia. Bila satu berbahagia atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama.” (Hal 126)

...bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di luar rumah jika itu menyulitkan. Bekerja dari rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk menumpuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. (Hal 135-136)


Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa melanjutkan hidup tanpamu. (Hal 176)

“… Selama Allah ridha kepada saya.” (Hal 185)

Hari pertama menjadi ibu.
Hari pertama ketika menerima hadiah terbaik yang Allah limpahkan kepada setiap perempuan.
Karunia yang di kemudian hari menjadi sumber kekuatan bagi setiap istri ketika merasa lemah dan linglung mencari pegangan. Sumber dari semua keceriaan, di saat hati diam-diam menangis. (Hal 191)


Dengar nak, Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang lain.” (Hal 200)

Catatan devi :
Buku yang indah. Membuat devi jadi bercermin pada diri sendiri. Apapun bisa terjadi di masa yang akan datang, apapun bisa terjadi dalam rumah tangga yang sedang devi jalani ini, apapun bisa terjadi pada devi sebagai seorang istri dan ibu. Maka hanya kepada Allah lah devi berserah diri, memohon keikhlasan, memohon kekuatan.

Selasa, Desember 02, 2008

Before Bed Time

Ini adalah foto-foto ritualnya Qaisha sebelum tidur. Pertama-tama dia harus ngeluarin semua buku dari tempat peyimpanannya. “Ku..ku..ku..” (buku maksudnya) katanya sambil menunjuk ke tumpukan buku. Tapi “Ku..ku..ku..” ini bisa juga artinya kupu-kupu. Tergantung dia ngomongnya di mana, klo lagi di luar rumah atau klo lagi liat gambar binatang itu artinya Kupu-kupu.

Abis itu kita bacain satu-satu. Mulai dari Juz’amma untuk Anak-anak yang tebalnya ratusan halaman sampai cerita keluarga tikus yang cuma 5 halaman board book. Sambil membalik halaman biasanya tangannya sibuk menunjuk-nunjuk sambil bilang “nih..nih..” maksudnya dia minta kita kasih tau itu apa yang dia tunjuk. Tapi ada juga aksi-aksi ngerobek halaman buku hanya karena dia ga sabar aja buat ngebukanya. Sudah banyak buku yang jadi korbannya, dan yang selamat ya cuma buku yang jenis board book. Untuk anak seusia Qaisha emang paling aman kasih buku jenis ini atau yang terbuat dari kain. Usianya akan lebih lama menghadapi anak-anak yang motoriknya masih belajar ini.

Salah satu buku yang hampir menjadi serpihan lembaran ini (hiperbola bangeddd) adalah yang judulnya Conejito. Buku ini termasuk koleksi devi yang cukup penting. Selain ada tanda tangan penulisnya, Margaret Read MacDonald, buku ini juga pernah menemani devi dongeng di RSCM (ceritanya ada di sini). Devi suka sekali buku ini karena ada lagunya, bisa digunakan untuk mengenal binatang, dan yang penting mengajarkan beberapa kata dalam 3 bahasa yang berbeda. Duh klo liat kondisi bukunya sekarang agak-agak sedih juga sih. Tapi kalo inget gimana kita (devi, ayah dan Qaisha) bergembira bersama : nyanyi-nyanyi sambil tepuk tangan, “memukul” buku sambil berujar “BUM” serta ngeliat wajah Qaisha yang menikmati cerita, maka its all worth it. Ga papa deh bukunya rusak, yang penting we have a wonderful moment together with the book, we have share great moment together.

Nah sekrang ada tambahan ritual lain sebelum tidur. Kami harus “mengganggu” tidurnya tetangga dulu dengan suara nyanyain ga jelas kami yang diiringi oleh organ tunggal eh pianika tunggal deh…hehehe…. Intinya tetangga ga boleh tidur sebelum kami tidur…hahaha… Semua ini berkat Qaisha yang gigih mengobrak-abrik lemari lalu menemukan pianika biru itu. Maka tidak ada malam yang kami lewatkan untuk memainkan alat musik itu sambil nyanyi lagu yang hanya kami saja yang mengerti. Terutama ayah yang akhirnya bisa menemukan alat yang bisa mengasah cengkok dangdutnya yang ia percayai sudah menjadi bakat alami…hehehe… Qaisha pun ga mau kalah. Setiap malam pasti sibuk memencet tuts-tuts pianika dan terus berusaha mengeluarkan suara dari benda itu seperti yang dilakukan ayah meskipun sejauh ini masih belum ada hasilnya. Sedangkan devi cukup menjadi penonton saja. Pernah sekali ikut-ikutan “konser” tapi ya sudahlah, devi sadar not-not balok bukan buat devi. Dan lagi kan tiada konser yang ga ada penontonnya bukannn???

Setelah itu semua dijalani dan Qaisha mulai mengusap-usap matanya itu artinya dia udah ngantuk. Apalagi klo udah bilang “Bobo…bobo…”, baru deh kita semua tidur. Dan pastinya ga lupa doa dulu…. Selamat tidur, cantik.

The Big Project

My big project is bikin kue ulang tahunnya ayah. Why its big? Coz its my FIRST birthday cake. Dibuat dengan tangan sendiri dan khusus untuk orang yang devi sayangi…ciee….suit…suit…!

Kue ini persiapannya satu bulan. Mulai dari menentukan mau pake kue yang mana, apa aja yang harus dipersiapkan, kapan harus bikin kuenya lalu kapan menghiasnya, kapan mau beli bahan-bahannya (atau bahasa kerennya timeline-nya), temanya apa, bentuknya kayak apa, sampai contack person yang harus dihubungi untuk keperluan ini. Wuih…heboh ya? Ya iyalah, secara devi ga ngerti apa-apa soal bikin kue ulang tahun. Baru aja lulus –klo boleh dikatakan lulus- dari kelas cake dasar tau-tau udah pingin langsung bikin kue yang cantik dan sempurna di hari istimewa seseorang. Tapi syukurnya “seseorang” itu ayah klo orang lain persiapannya pasti lebih heboh lagi dan mungkin perlu nambah satu bulan lagi…hahaha…

Tapi internet sungguh alat luar biasa. Dari situlah devi dapat banyak yang yang memang devi perlukan untuk bikin kue ini. Ketemu berbagai foodie blog yang luar biasa and very inspiring serta bikin devi jadi semangat belajar tentang baking2an. Devi jadi tahu bahwa bayak sekali hal yang diperlukan untuk menyiapkan sebuah kue, tidak hanya dari segi peralatannya saja, tapi juga perlu pengetahuan dan kreasi, imajinasi dan kecerdikan, and not to mention the story behind it. Yes, every cake has its own story.

Maka dengan segala keterbatasan devi, inilah hasilnya :




Cakenya adalah Brownies Kukus. Kue ini devi pilih karena dia bisa terdiri dari 3 layer dan devi ga terlalu repot menyiapkan filing (soalnya belum tahu caranya bikin filing…hehehe…). Dari segi rasa enak dan nyoklat banget. Dia tebal dan kokoh jadi cukup ngenyangin meski kuenya kecil (Soalnya dandang devi cuma muat buat loyang 22 aja…hehehe… Klo lebih besar dari itu ga muat). Tapi waktu ngukusnya sempet ada accident yang bikin devi sempet agak-agak panik. Bagian atasnya sempat bompel terkena serbet yang diikat di penutup dandang. Ternyata ikatan serbetnya ga kenceng, jadi uap airnya berkumpul di tengah sorbet dan jatuh mengenai adonan. Untungnya langsung ketahuan jadi langsung serbetnya diganti dan dilanjutin ngukusnya. Itu juga salah satu kelebihan brownies ini, yaitu tahan banting….hehehe… dan dia ga perlu ngembang!

Karena ayah pengidap penyakit narsis yang akut jadi kuenya pake edible. Usulan foto yanga ada Qaisha ditolak ayah. Ternyata ayah punya foto sendiri yang bikin dia keliatan karismatik (berdasarkan pengamatan ayah sendiri sih, orang lain mah ga tau…hehehe). Edible-nya devi pesen di Ina Larizz
seminggu sebelumnya. Untuk cara nempelin ediblenya devi konsultasi dulu ke Ira yang emang udah pakar. Wah ira dengan sangat baik hati ngasih tahu cara-caranya, juga tentang whip cream sebagai base hiasan kue. Thank you ya, ra.

Dekorasi kuenya juga sederhana sekali. Karena ya itu pesen ayah pingin fotonya keliatan karismatik jadi ya sudah dibuat lah yang ga terlalu rame. (Padahal sih devi ga punya perlengkapannya aja…hehee… Dan ga tahu caranya make spuit…hahaha… Padahal udah beli meskipun ilang sih). Tapi punten ya yah, klo kuenya malah jadi keliatan girly dengan bunga-bunga kecil itu dan cherry merah ijo yang ga jelas…hehehe…

Bagian yang paling mengasikkan dari menghias kue ini adalah waktu bikin pager dari coklat. Untungnya devi sempet beli buku Menghias Kue dengan Coklat. Di buku itu diajarin cara bikin pagar dari coklat dengan bentuk-bentuk yang abstrak. Coklatnya tinggal dicairin, trus oleskan coklat itu di atas mika (plastik yang biasa dipake buat OHP). Bentuknya terserah, kalo yang devi buat bentuknya bulat lonjong. Lalu kasih olesan coklat putih cair sebagai aksen. Masukkan ke dalam freezer kurang lebih 3 menit dan hasilnya akhirnya adalah pagar-pagar yang abstrak. Untuk catatan aja; ketebalan coklat yang dioleskan di atas mika sebaiknya agak tebal supaya waktu dilepaskan dari mika tidak mudah pecah. Buku ini juga disertai VCD jadi kita bisa liat cara pembuatannya secara langsung.

Pagar coklat itu ternyata bisa bikin kue devi terlihat agak berani, jadi ga terlalu pucat dan kosong. Tapi emang devi dasarnya orang yang tidak terlalu berani, kalau membuat apa-apa pasti selalu keliatan pucat. Wah harus sering bereksperimen nieh biar bisa menghias kue lebih rame.

Lama pembikinan kuenya memakan waktu dua hari. Eits bukan dua hari dua malam ya. Kuennya dibikin malam Senin jam 22.00 wib selesai jam 24.00wib. Ngehiasnya malam Selasa jam 23.30wib selesai 1.30wib, jadi total kira-kira 4 jam lah….hehehe… Maklum amatiran jadi butuh waktu lama Buanged! Dan lagi emang harus nunggu Qaisha tidur dulu baru bisa konsen ke kue.

Ngerjain kue ini sih sebenernya cukup menguras tenaga dan pikirin devi (perencanaannya sebulan, bo! maklum project pertama…hehehe..dasar amatiran), tapi menyenangkan dan bikin ketagihan. So next project is Klapertart buat Idul Adha.

Oh iya, bolu gulung juga buat orang-orang kantor.

Ps: Buat ayah; semoga suka ya sama kue ultahnya.

Happy Birthday, ayah.