Rabu, April 08, 2009

The First Conflict…

Qaisha’s first conflict with peers. Ga nyangka akan terjadi secepat ini. Dan ga nyangka juga klo devi ada di sana menyaksikan. Hiks…sedih banget…

Ceritanya Qaisha lagi main dengan Rafli (3,5 th), tetangga samping rumah, dan Rara (3,5th). Lalu Rara ngeliat Iqbal (3,5 th) sedang dengan embahnya di kebun. Rara menyusul ke sana. Melihat Rara menyusul Iqbal, Rafli mengikutinya. Melihat Rafli pergi, Qaisha pun ikut menyusul. Lalu Rara dan Iqbal pergi ke rumah Iqbal dan main di sana. Rafli pun menyusul ke rumah Iqbal. Sebagai buntut terakhir, Qaisha juga menyusul. Tapi ternyata Iqbal tidak senang Qaisha main ke rumahnya. Dari luar devi mendengar Iqbal marah-marah. Tapi devi ga tahu marah sama siapa. Perasaan devi udah ga enak. Lalu devi melihat dari balik pagar rumah Iqbal mau menarik tangan Qaisha untuk menyuruhnya keluar. Qaisha menepisnya, menolak keluar. Lalu mulai lah terdengar kata-kata pengusiran. “Keluar!!…Keluar!!” teriak Iqbal pada Qaisha. Devi melihat Qaisha berdiri mematung mendengat hardikan Iqbal dan segera masuk kedalam. Devi menemukan Qaisha berdiri tak bergerak dengan air mata yang sudah menggenang siap tumpah kapan saja. “KELUAR!!!!” teriak Iqbal lagi yang berdiri persis di samping Qaisha. Dari dalam rumah terdengar suara eyangnya berteriak menghentikan Iqbal yang teriak-teriak. Panas hati devi ketika itu. Ingin devi segera tempeleng mulut anak itu yang sudah kasar pada Qaisha. Syukurnya devi masih bisa ingat klo devi berkawan baik dengan orang tuanya dan Iqbal juga hanya anak-anak, kalau tidak devi sudah terbawa emosi juga. Devi segera menggendong Qaisha yang seketika itu juga langsung menangis begitu melihat devi dan segera membawanya keluar rumah. Devi berusaha keras mencari kata-kata yang tidak memihak dan menyalahkan salah satu pihak untuk menenangkan Qaisha di tengah kemarahan devi yang di ubun-ubun. Akhirnya devi bilang klo Qaisha kan jarang main ke rumah Iqbal, jadi Iqbalnya ga kenal deket sama Qaisha secara berulang-ulang. Pengulangan itu sebenernya lebih untuk devi sendiri yang kadung emosi, bukan hanya untuk Qaisha saja. Devi juga berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata devi sambil mendekap Qaisha yang sesenggukan.

Secara logika seharusnya devi tidak semarah itu. Mereka sama-sama anak kecil yang belum ngerti. Mereka hanyalah bermain dan sedang dalam proses berkembang. Tapi tetap saja rasanya ga rela ada orang yang kasar pada Qaisha, baik itu orang dewasa maupun anak kecil yang bau kencur. No body hurt my baby! No body! Devi berusaha keras untuk tidak berbicara dengan nada tinggi pada Qaisha. Lalu tiba-tiba ada orang lain yang berani-beraninya berteriak-teriak padanya…..aarghgghh…rasanya pingin ngamuk. Kurang ajar benar dia!

Do I sound exaggerating? Well, maybe, karena setelahnya Qaisha tampak biasa-biasa aja meskipun agak lama juga buat menenangkan dia. Tapi anak adalah pemberi maaf yang paling cepat. Ketika keesokan harinya Qaisha sudah tertawa tawa seperti biasa, loncat-loncat seperti biasa serta merajuk seperti biasa seolah-olah nothing had hurt her, then I can’t help smile at her again. Tapi tetap saja bayangan wajah Qaisha yang dibentak-bentak, diusir, dan matanya yang tergenang air menahan tangis tetap tergantung dalam ingatan devi. Rasa sakit ketika Qaisha diperlakukan kasar oleh orang lain masih terus devi rasakan ketika mengingatnya.

I didn’t say that I hate Iqbal. I just can’t forget the feeling I had at that time. I realize I’ll be dealing this kind of stuff in the future in many kinds of form. In the form I couldn’t imagine now. Maybe it’s no big deal some would say. Its just things that children should learn and go through to gain their independency that led to maturity. Conflict with peers is part of a child learning process. And I also know that this is part of my learning process as a mother too. If your baby is hurt, you’ll be the first one who feels the pain.

Jumat, April 03, 2009

Sajak Untuk Anakku

Sayang
anakku sayang,
ini hari matahari bergerak panas
kelak kau tahu
ada punggung yang terbakar di bawahnya
menggendongmu dengan cinta
seperti itulah kelak engkau menggendong ummat
dengan cinta

Sayang
anakku sayang,
kalau aku telah mendengarkan lisanmu
dan ibumu telah mendekapmu dengan cinta
kelak kau tahu
seperti itulah kelak engkau mesti memeluk ummat
dengan cahaya Allah
yang tak pernah sunyi

Sayang
anakku sayang,
hisaplah air susu ibumu tanpa ragu
sebab dari air susu itulah
kau belajar keikhlasan sejati
dan pancaran cinta ilahi
dapat kau rasukkan dalam darahmu
kelak
dengan keikhlasan cinta yang memancar dari-Nya
kau mesti menyampaikan surat cinta-Nya

Sayang
anakku sayang,
menangislah
menangis engkau hari ini
air matamu
biarlah mengalir untuk-Nya
agar kelak engkau tak kehabisan senyum
untuk orang-orang lapar

Sayang
anakku sayang,
ini hari
kami masih memberikan cinta
kepadamu
sesudahnya
kelak kami ingin membanggakanmu
di hadapan majelis Allah
bahwa kau telah mengenal-Nya
di masjid dan di tempat-tempat orang-orang lapar

Beautiful poem taken from Bersikap Terhadap Anak karangan M Faudhil Adhim. Buku yang luar biasa bagus untuk parents. Bahasanya enak dan menyentuh. Tapi sayang buku ini kurang terkenal dibanding buku-buku M Faudhil Adhim yang bertema pernikahan. Susah sekali mencari buku ini lagi. Sayang seribu sayang...