Selasa, Januari 29, 2008

Pieces of Mozaik

"Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti." (Sang Pemimpi, hlm. 72)


Senin, Januari 21, 2008

It's a baby girl, guys!

Kadang lucu juga melihat ekspresi orang yang awalnya mengira Qaisha itu bayi laki-laki setelah diberitahu kalau bayi mungil bermata sipit itu anak perempuan. Akar permasalahannya sih sederhana saja: Qaisha belum tindik kuping. Devi ga pernah nyangka kalau kealpaan kami (devi, ayah dan eyangnya Qaisha) untuk menyediakan anting dan menindiknya segera setelah dilahirkan akan berbuntut panjang. Kemana pun kami pergi, pasti ada saja orang yang mengira kalau Qaisha itu anak laki-laki. Komentarnya macem-macem, dari yang sederhana seperti "Laki-laki ya anaknya", sampai yang sedikit 'berat' : "Ganteng ya anaknya. Namanya Muhammad siapa?" Hehehe... heboh kan.

Awalnya sih agak sebel. "Wong anak devi cantik begitu kok dibilang ganteng? Emang ga bisa bedain cantik ama ganteng ya?" begitu keluh devi. Tapi setelah kesini-sini ya udah jadi guyon aja, sambil mulai diitung berapa orang yang udah ketipu sama putri cilik devi. Kira-kira ada lah dua puluh sekian orang selama 7 bulan 21 hari perjalanan hidup Qaisha, dan kayaknya angka itu akan terus bertambah jika devi ga segera menindik kuping Qaisha.

Hmmm... agak-agak takut juga sih menindik kuping Qaisha karena sekarang dia udah mengenal rasa sakit. Tapi kalo nunggu lebih gede lagi nanti malah lebih sakit lagi. Devi sendiri pun waktu kecil sampe 3 kali ditindik karena ga tahu kenapa itu lubang sering bermasalah dan ketutup sendiri sehingga harus berkali-kali ditindik.

Devi memang tidak melihat tindik kuping jadi masalah karena devi sendiri tidak berhubungan dengan hiasan telinga bentuk apapun semenjak kuliah dengan hijab yang devi pakai. Namun karena ini menjadi masalah identitas untuk putriku tersayang kayaknya emang jadi agak-agak urgent nieh nindik kuping Qaisha.

Berikut ini gayanya Qaisha yang teranyar yang bikin orang jadi tambah saru tentang ke-perempuan-an Qaisha (Halah, apa pula itu???). Ini adalah hasil jeprat-jepret pakde-nya Qaisha yang emang pakar fotografi. Hasilnya oke banget deh!




Selasa, Januari 15, 2008

Berlibur di Rumah Embah

Judulnya seperti judul karangan waktu di SD dulu ya? Memang libur panjang tahun baru Islam kemarin devi, ayah dan Qaisha menghabiskanwaktu di rumah embah di Pulo Gebang. Pun begitu, sayangnya embahnya ga ada di sana, tapi di Sunter. Hehehe... bingung kan? Iya, kita memang nginep di rumahnya embah, tapi embahnya Qaisha tinggalnya di Sunter. Jadi ga salah-salah amat kan judulnya??

Sebenernya yang sedang berlibur itu devi. Tepatnya yang lagi butuh liburan. Setelah berkutat hampir 3 minggu berturut-turut dengan proyek rutin akhir tahun yang mengharuskan pulang malam saban hari bahkan sampai tak pulang, maka devi putuskan untuk break sejenak mumpung ada libur panjang. Tapi itu pun masih juga harus lembur di hari Jumat yang seharusnya adalah hari cuti bersama sampai pukul 8 malam.

Jujur, rasanya fisik, psikis dan hati ini rasanya penat luar biasa. Pergi pagi, pulang malam, dan tak jarang tak sempat bertemu dengan buah hati tercinta. Ketika pulang pun bertemu kamar yang tak terjamah sapu dan pel lantai karna tak sempat bersihin kamar tidur. Belum lagi berurusan dengan eyang Qaisha yang seolah-olah menganggap lembur malam devi -yang tak dibayar itu- adalah waktu devi bersenang-senang di luar rumah sedangkan beliau harus berurusan dengan tetek bengek urusan rumah tangga dan rewelan Qaisha. Duh, sedih banget rasanya...

Ya sudah, makanya keputusan liburan pun diambil. (Well, actually its my own decission ^_^)

Hari kamis (10/1) kita bertiga berangkat ke Pulo Gebang. Naik bis Primajasa yang ke Bandung, kami turun di UKI. Selama di perjalanan itu kita main ciluk ba. Qaisha suka sekali permainan ini. Dia pasti akan tertawa lebar ketika dikejutkan ayah yang tadinya "hilang" tiba-tiba muncul dihadapan wajahnya. Sampai di UKI, baru kami melanjutkan naik taksi. Kali ini di taksi Qaisha tertidur pulas sampai tiba di rumah.

Hari Jumat (11/1) devi harus lembur di kantor. Menyelesaikan bahan presentasi dan handout yang harus diserahkan untuk dicetak hari itu juga. Awalnya devi kira bisa selesai setelah maghrib dan sudah berangan-angan mau ngajak ayah makan mie aceh di blok m yang terakhir kali kita makan setahun yang lalu. Tapi, thanks to "kecanggihan" IT kantor, devi harus mengundur waktu pulang sampai jam 8 malam. Tapi senangnya malam itu devi tetap jadi makan malam berdua saja sama ayah...hehehe... Makan udang rebus dan gurame bakar dengan dibayangi asap dari pembakaran sate dan ditemani kerlap-kerlip lampu mobil yang lalu lalang, serta deru klakson yang bersahut-sahutan. Romantis kan???

Hari Sabtu (12/1) devi memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bertahun-tahun sudah tidak devi lakukan lagi : Pergi ke Salon. Latar belakangnya : I just want to relax and enjoy myself. Maka dengan bekal rekomendasi dari Susan yang kebetulan memang orang daerah situ, devi pun berangkat ke salon mungil dipertokoan depan sebuah perumahan. Canggung sekali masuk ke wilayah kecintaan kaum hawa ini, tapi berbekal tekad untuk memanjakan diri maka dengan mantap devi minta pelayanan creambath sekalian potong rambut (thing that I should've done months ago). Ahhh...enaknyaaa..

Bersambung....

Senin, Januari 07, 2008

2008 Resolution

Resolusi 2008 : Memasak buat ayah.

Sounds simple, isn't it? Sounds very simple. But it such a big thing for me. Entah mengapa devi, masak dan dapur tidak pernah bisa akur. Seperti ada kutukan dalam diri ini jika devi menyentuh panci, kompor dan kawan-kawannya maka hasilnya akan ada satu kata: Amburadul. Hasil masakan ga jelas, tapi cucian piring malah menumpuk. Belum lagi rasa putus asa karna tampilan masakan berbanding terbalik dengan gambar di buku resep.

Devi adalah tipe orang yang sangat menyukai kepraktisan. Atau sebutan untuk jaman sekarang adalah serba instan. Segala macam bentuk rempah, bumbu dapur dan macamnya adalah musuh utama devi. Jangan pernah membayangkan devi berjibaku didapur dengan masakan selera nusantara yang penuh dengan berbagai bumbu. Apalagi untuk jenis makanan yang harus dimasak dengan dua proses pemasakan, seperti untuk bikin pie; harus bikin kulitnya dulu baru isinya, atau kue-kue kering yang dibuat dari satu kilo terigu tapi harus ada proses pemotongan kecil-kecil menggunakan berbagai cetakan yang memakan waktu lebih dari 10 menit. Wah! itu sih wassalam aja.

Jenis kue yang sesuai dengan tipikal devi mungkin brownies. Kue bantat yang gagal jadi tapi rasanya ga kalah enaknya. Bikinnya gampang, tinggal masukin ini itu, diaduk-aduk, masukin cetakan, panggang, dan tarrraa...jadilah! Tapi ini dengan catatan ya, bukan brownies kukus yang perlu proses pengukusan yang memakan waktu.

Hehehe... parah kan? Padahal eyang dan buyutnya Qaisha luar biasa jago masak. Segala jenis masakan tradisional bisa disajikan di atas meja kalau mau. Eyang yang asli orang Semarang sekarang udah gape dengan berbagai masakan dari ikan yang berasal dari Sumatra Selatan macam empek-empek atau tekwan, setelah menikah dengan eyang kakung yang asli wong kito galo. Sambal buah yang dulu asing untuk selera Jawanya sekarang udah jadi kegemaran di rumah, dan khusus devi adalah sambal nanas yang rasanya pedas, asem campur manis tapi bikin ketagihan di mulut.

Tapi sayangnya, entah kenapa kepandaian itu tidak menurun pada devi. Tidak bisa memasak memang tidak menjadi urusan yang urgent untuk devi. Mungkin devi termasuk jenis perempuan masa kini yang merasa urusan domestik bukanlah domain perempuan semata. Hey, ga bisa memasak kan tidak membuat devi jadi less human, kan? Begitu pedoman hidup devi.

Tapiiiiiiii.....sekarang sedih juga gara-gara ga bisa masak devi ga bisa menghidangkan menu istimewa khusus buat ayah. Masa hampir menginjak dua tahun pernikahan devi belum pernah masak buat ayah?? Hiks... kasian ayah. Klo lagi jalan ke pasar atau hypermarket devi suka merasa bersalah ketika ke bagian daging-daging segar, karna biasanya ayah akan merhatiin ati-ampela, ceker (ayah suka sekali ceker) dengan pandangan pingin dimasakin. Hehehe... tapi berhubung istrinya bermusuhan sekali dengan dapur maka jadilah ayah cuma puas memandangi daging-daging mentah itu.

Masih terngiang perkataan ayah ketika tahu klo devi ga bisa masak : "Apapun yang kamu masak pasti saya makan". Duh, ingiiiiinnnn sekali masakin sesuatu yang istimewa buat ayah. Sebut saja ini naluri seorang istri, bahwa memasak untuk pasangan hidup kita adalah sebuah fitrah wanita.

So, untuk 2008 ini, my big resolution is Memasak Untuk Ayah.