Jumat, Oktober 16, 2009

Mendongeng di RSCM Sendirian

Giliran devi untuk dongeng ke RSCM sabtu tanggal 8 Agustus 2009 lalu. Sebenernya dengan dua orang lainnya. Tapi yang satu mendadak ga bisa karena sakit, sedang yang satu lagi karena devinya molor banget, ga tahu apakah jadi datang apa enggak. Seperti sabtu yang sudah-sudah, susah sekali buat meninggalkan rumah karena hari itu adalah hari “off duty-nya” eyang. Susah banget meninggalkan Qaisha, selalu ada perasaan bersalah meninggalkannya di hari sabtu apakah itu untuk ke RSCM, rapat KPBA atau kegiatan dongeng lainnya. Kalau bisa membawa Qaisha pasti lebih menyenangkan. Tapi kan mungkin membawa Qaisha ke RSCM.

Now back to cerita mendongeng di RSCM. Hari itu devi datang telat banget. Devi tiba jam 10.30wib. Telat satu jam dari jadwal sebenernya. Lebih kacau lagi devi lupa menyimpan nomer telpon teman yang juga bertugas bersama devi hari itu. Wah, di bis bawaannya udah ga tenang aja. Patas AC 16 kalau hari sabtu punya jarak satu jam antara bis yang satu ke bis berikutnya. Jauh banget bedanya di hari-hari kerja yang cuma selang waktu 10-15 menit. Devi seharusnya sudah naik bis yang jam 8.30wib. Tapi devi nyampe di terminal jam 09.00wib, which mean harus nungguin bis berangkat setengah jam lagi. Dan benar saja, jam 09.30wib bis baru berangkat. Pingin ngomel, pingin marah, rasanya waktu menunggu bis itu bergerak. Tapi marah sebenernya lebih ke diri sendiri yang jelek banget soal manajemen waktu dan disiplin diri. Ditambah rasa bersalah meninggalkan Qaisha yang mengantar devi dengan tangisannya.

Benar saja, sampe di RSCM jam 10.30wib. Devi ga berani ngebeyangin apa yang akan dan harus devi lakukan jika temen devi itu sudah pulang dan devi harus mendongeng sendirian. Ini memang bukan dongeng di RSCM yang pertama, tapi ini akan jadi yang pertama kali devi harus mendongeng sendirian. Bismillah aja deh.

Begitu memasuki gedung rawat inap untuk anak itu devi langsung menuju ke atas. Ga ada waktu deh buat bingung-bingung mau ngapain atau mencari teman devi itu atau bahkan mengundurkan diri pulang ke rumah. Devi langsung menuju ke atas. Pintu yang biasa dimasukin terkunci, artinya harus jalan memutar. Ini bukanlah perjalanan yang menyenangkan, bukannya apa-apa, tempatnya sepi bo! Dan tangga menuju ke lantai atas di jalan memutar itu berhadapan persis dengan koridor menuju kamar mayat….Hiii…!!! But I didn’t have time to such things, jadi jalan aja deh.

Begitu tiba di atas devi masih mengharapkan bisa menemukan sosok teman devi itu. Tapi tidak ada. Yo wis, maju lah devi sendiri. Minta ijin ke dokter jaga dan perawat yang menjaga. Hmmm…kayaknya devi ga cukup pede deh ngumpulin anak-anak itu ke tengah ruangan. Lebih karena devi ga tahu caranya ngumpulin anak-anak itu dan memobilisasi mereka ke tengah ruangan seorang diri. Maka devi pun pake metode dongeng per bed, menghampiri tempat tidur itu satu persatu.

Tempat tidur pertama yang devi hampiri adalah yang paling dekat dengan meja jaga. Di situ kebetulan ada anaknya suster yang jaga sedang ikut main. Jadi untuk kedua anak itulah devi mendongeng pertama kali. Devi bawain buku cerita tikus yang ada boneka jarinya. Boneka tersebut bisa dimasukkan ke dalam lubang yang ada di setiap halaman untuk masuk ke halaman berikutnya. Senangnya buku ini karena bisa iket mengajak anak berpartisipasi dalam cerita dengan memasukkan boneka tersebut dan membuka ke halaman berikutnya. Hanya ada lima halaman dalam buku tersebut, sehingga mudah untuk anak-anak mengingat cerita dan mengingat tempat-tempat yang dikunjngi si Tikus. Sehingga pada akhir cerita devi bisa meminta kedua anak itu menceritakan kembali kemana saja ssi Tikus itu pergi. Cukup satu cerita, tapi sudah lumayan lama devi di tempat tidur pertama ini.

Lalu berlanjut ke tempat tidur berikutnya. Tidak semua anak dalam keadaan terjaga, jadi devi hanya menghampiri tempat tidur yang anak-anaknya sedang terjaga saja. Coba devi ingat nama anak-anak itu; Darwis, Eka dan Dea, Mahisa dan Naufal, Risma, Rayhan, Afi (?). Devi lupa nama anak yang pertama kali di dongengin yang bersama anaknya suster.

Devi ingat yang bernama Eka itu masih batita, mungkin masih setahun. Ada empeng di mulutnya dan dia hari itu mau pulang ke rumah. Jadi tempat tidurnya sudah rapi dan dia pun sudah berpakaian sangat rapi. Devi sedang mandatangin ranjang Dea ketika Eka yang sedang digendong ibunya devi tawarkan untuk ikut mendengarkan dongeng bersama di ranjang Dea. Dua cerita devi bawakan untuk Eka dan Dea. Cerita pertama yang verupa cerita tikus dengan boneka jarinya rupanya tidak cukup menarik perhatian Eka dengan menimbang wajahnya lebih terkesan bingung dari pada menikmati cerita devi. Tapiiii…begitu devi keluarkan buku ke dua ukuran maksi dengan gambar monyet di depannya, tiba-tiba saja matanya langsung membulat penuh dan ekspresi senang langsung tersirat dari wajahnya. Dengan antusias ia menunjuk hewan-hewan yang ada di buku. Kayaknya sih dia masih ga mudeng sama ceritanya seperti cerita yang pertama devi bawain. Tapi dia senang saja melihat ada gambar hewan-hewan di buku devi. Sesuatu yang yang dia kenal, mungkin, pikir devi dalam hati. Tokoh hewan selalu terasa familiar pada anak. Dan benar saja, dia punya ayam di rumah…hehehe… Pantes saja begitu melihat tokoh ayam dia langsung heboh menunjuk-nunjuk gambarnya. Devi, ibunya Dea, Ibunya Eka, Dea dan Eka langsung tertawa-tawa dan bercanda tentang ayam sepanjang akhir cerita. Ah menyenangkan sekali melihat ekspresi bahagia Eka. Mungkin dia kangen sama ayamnya dan senang akhirnya bisa melihat ayam lagi meskipun itu bukan ayamnya dia….

Meninggalkan Dea dan Eka devi jadi punya ide untuk membawakan cerita hewan itu untuk anak-anak batita. Sebelum devi mulai mendongeng untuk Eka dan Dea, tiba-tiba seorang ibu menghampiri devi dan ingin meminjam buku untuk anaknya. Surprise juga ada ibu-ibu yang mau pinjam buku. Mungkin dia sudah tahu tentang kegiatan KPBA ini sehingga tahu orang yang datang untuk dongeng pasti bawa banyak buku. Surprise juga mengetahui bahwa anaknya lah yang meminta sang ibu untuk menghampiri devi dan meminjam buku. Posisi tempat tidurnya ada di pojok. Begitu giliran mendongeng sampai pada anak itu, yang pada papan namanya tertulis Risma, devi baru tahu kalau Risma itu sudah remaja, mungkin SMP. Untuk dia tidak devi dongengkan, karena buku yang devi pinjamkan sudah pas untuk usianya, yaitu Masarasenai dan Matahari. Kan kasian kalau devi dongengin si Tikus atau buku cerita hewan setelah dia baca buku Masarasenani. Rasanya kebanting banget. Tapi sebenernya devi juga bingung kalau berhadapan dengan anak-anak yang memasuki usia remaja. Jenis cerita apa yang cocok untuk mereka dan bagaimana membawakannya supaya pas dengan kebutuhan emosi dan inteletual mereka yang sedang dalam masa peralihan ini. Karena itu, untuk Risma suvenirnya devi kasih saja buku itu.

Sebelum ke Risma, devi mampir dulu ke Mahisa dan Naufal. Tempat tidur Naufal ada di pojok. Karena keliatannya Naufal “cukup sehat” dan “mudah’ dipindahkan, mak devi ajak bergabung mendengarkan dongeng di tempat tidur Naufal. Cerita yang devi bawakan untuk mereka adalah cerita binatang. Wah Mahisa langsung rame bertanya “apa ini?”, “Ini?” sambil menunjuk gambar yang ada dibuku, “ini apa?”. Devi langsung menebak kalau usianya dua tahun. Mirip sekali dengan Qaisha yang suka menunjuk dan bertanya “apa ini?” padahal yang ditunjuk benda yang sama berulang-ulang. Untuk cerita hewan ini dipenuhi dengan suara “apa ini?”-nya Mahisa…hehehe…seru juga. Devi kemudian membawakan cerita si Tikus. Kali ini secara bergantian Mahisa dan Naufal memasukkan si Tikus dan membalikan halaman. Karena jumlah halamannya ganjil, sebagai penutup devi meminta Mahisa yang belum mendapat giliran terakhir memasukkan si Tikus ke dalam “rumah”nya yang berada di cover depan buku. Nah adil kan?

Tidak sampai sepuluh anak yang devi dongengin di RSCM hari itu, tapi ternyata memakan waktu satu setengah jam. Tiba-tiba saja makan siang anak-anak itu sudah diantar yang menandakan sudah hampir jam 12 siang. Lumayan juga satu setengah jam ngoceh terus ga berhenti. Tapi menyenangkan kok. Dongeng per tempat tidur ternyata lebih sesuai untuk devi di RSCM, karena rasanya lebih personal interaksinya dengan anak-anak. Bisa memberi perhatian ke mereka sesuai kebutuhan masing-masing dan bisa kasih maksimal. Pemberian suvenirnya pun lebih bisa sesuai kebutuhannya dan lebih terasa pribadai, tidak disamaratakan. Hari itu syukurnya memungkinkan karena suvernirnya beragam.

I know there are more to do with this program. There are lots of thing can be done and give for those children, but I still don’t know what they are. I even don’t know what they get from this program that I hear personally from them, or even read on a research paper, that can be use as an input for the development of this program. But I think this program is improving by how they become familiar with us and the program.