Berikut ini beberapa kutipan yang membuat devi berpikir, tersentuh, merenung. I always made this kind of note from the book I’ve read. They usually bear in my mind forever, whether its something enlighten or disapprove.
Catatan Hati Seorang Istri/Asma Nadia.- Depok: Lingkar Pena Kreativa, 2007.
130hlm; 20,5cm.
…Khawatir akan iman dan keikhlasan yang tidak seberapa. Ragu akan kemandirian, karena bertahun-tahun saya merasa dimanjakan dan menjadi tergantung kepada pasangan dalam banyak hal. Kesiapan menghadapi apapun takdir-Nya, sungguh bukan perkara mudah. (Hal vii)
“… Jika saya menikah lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu… karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa yang di luar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu. Hubungan sebelum pernikahan yang sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak kejadian seperti itu.”
Benar sekali, komen saya dalam hati.
“Yang kedua, pak?”
Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya dengan pandangan serius.
“Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan abadi.”
Saya melihat Pak Haris menarik napas panjang, sebelum menuntaskan kalimatnya.
“Sekarang, bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya sudah pasti dan permanen?” (Hlm 5)
Tidak cantik dan karenanya tidak bisa mencintai?
Lihat Rasulullah yang bersedia menikahi perempuan yang 25 tahun lebih tua darinya, bahkan ada yang lebih tua dari itu.
Lihat para sahabiayah… perempuan yang menerima pinangan Bilal Bin Rabah! (Hal 15)
Laki-laki.
Tetap saja saya tidak mengerti. (Hal 43)
Apakah para lelaki yang berpoligami, mereka yang beralasan menikah lagi dengan kerangka sunnah Nabi atau alasan mulia lain, pernah sekejap saja merenung bahwa tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang coba diobati oleh perempuan, tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama? (Hal 112)
“Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia. Bila satu berbahagia atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama.” (Hal 126)
...bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di luar rumah jika itu menyulitkan. Bekerja dari rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk menumpuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. (Hal 135-136)
Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa melanjutkan hidup tanpamu. (Hal 176)
“… Selama Allah ridha kepada saya.” (Hal 185)
Hari pertama menjadi ibu.
Hari pertama ketika menerima hadiah terbaik yang Allah limpahkan kepada setiap perempuan.
Karunia yang di kemudian hari menjadi sumber kekuatan bagi setiap istri ketika merasa lemah dan linglung mencari pegangan. Sumber dari semua keceriaan, di saat hati diam-diam menangis. (Hal 191)
“Dengar nak, Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang lain.” (Hal 200)
Catatan devi :
Buku yang indah. Membuat devi jadi bercermin pada diri sendiri. Apapun bisa terjadi di masa yang akan datang, apapun bisa terjadi dalam rumah tangga yang sedang devi jalani ini, apapun bisa terjadi pada devi sebagai seorang istri dan ibu. Maka hanya kepada Allah lah devi berserah diri, memohon keikhlasan, memohon kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar