Berbeda dengan tema sebelumnya, kali ini fokus KPBA jatuh pada negara-negara ASEAN. Tamu-tamu yang diundang mengisi acara berasal dari negara-negara ASEAN, plus Jepang dan minus Vietnam. Cerita-cerita yang digulirkan juga terasa lebih familiar di telinga terutama dari negara yang masih dalam satu rumpun seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Lebih familiar juga karena nuansa dan secara geologis tidak terlalu berbeda dengan Indonesia. Susunan acaranya juga berbeda dengan festival dongeng sebelumnya. Kali ini ada juga workshop yang diadakan 2 kali setelah pementasan pagi dan siang. Jadi kali ini ada lebih banyak ilmu yang bisa devi dapat. Acara ini diadakan sejak tanggal 31 Juli - 4 Agustus 2008 di Bentara Budaya Jakarta.
Para pengisi acara
Kali ini devi berkesempatan mendampingi pendongeng dari Filipina bernama Carla Pacis. Seorang penulis buku anak dan berdasarkan CV termasuk orang yang mendirikan perkumpulan penulis buku anak di negaranya. Beliau juga seorang dosen. Orangnya sangat ramah dengan bahasa Inggris yang enak didengar dan mudah dimengerti (maksudnya ga ada aksen-aksen tagalognya).
Ketika pembukaan jujur devi tidak begitu bagus menerjemakannya di atas panggung. Entah kenapa. Ada beberapa saat yang devi harus terdiam untuk berpikir untuk menemukan kalimat yang cocok sebelum berbicara. Padahal cerita yang akan dibawaka Carla sudah devi terima jauh-jauh hari dan sudah devi baca berulang kali. Namun begitu di atas panggung tiba-tiba devi blank. Gaya bercerita Carla yang hanya membacakan teks dan kurang berekspresi terus terang sempat membuat devi tidak nyaman. Apalagi secara mendadak Carla menambahkan prolog tepat sesaat sebelum kami naik ke panggung. Walhasil terjemahan devi buruk sekali. Tapi Alhamdulillah semuanya terbalas pada hari kedua. Carla yang masih tetap membacakan teks ketika bercerita tidak membuat devi mengikuti gayanya yang menurut devi agak monoton seperti ketika di pembukaan. Devi bisa menterjemahkan cerita The Tricster Child dengan lebih bebas, santai dan nyaman. Ditambah lagi di awal cerita Carla mengajak anak-anak turut menari mengikuti irama seperti dalam perayaan di Filipina (Philippinos loves fiesta, ujar Carla suatu kali). Suasananya lebih cair dan devi lebih merasa percaya diri walaupun ketika itu peserta yang datang terdiri dari anak-akan TK yang ributnya luar biasa.
Pementasan selanjutnya dengan Carla jatuh pada hari Minggu (3/8). Kali ini Carla membawakan cerita yang berbeda. Menimbang anak-anak yang datang ternyata lebih kecil dari perkiraannya, akhirnya Carla memberi cerita yang baru. Cerita yang berjudul Mapun ini hanya sempat devi baca 2 kali, tapi ternyata justru pada cerita ini suasananya jauh lebih meriah. Carla yang tidak lagi membawaka teks tapi bercerita lepas malah membuat devi merasa lebih nyaman. Devi malah lebih bisa mengeksplorasi intonasi kalimat dan memilih kata yang lebih enak didengar. Cerita ini kemudian ditutup dengan sebuah lagu dari bahasa tagalog. Judulnya Crab Song. Dan kami pun ikut bernyanyi gembira sebelum menutup cerita.
Pengalaman mendampingi workshop jauh lebih seru lagi. Hari pertama devi tetap mendampingi Carla yang memberi materi Creative Writing. Waduh di sini pelajaran bahasa devi benar-benar diuji. Beberapa kata devi tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Seperti contohnya kata alliteration. Dua peserta berasal dari sekolah internasional tidak memiliki hambatan memahami materi yang dibawakan dalam bahasa Inggris. Tapi selebihnya, sekitar 15 anak, harus devi terangkan kembali ke masing-masing anak. Dan ternyata materi Carla termasuk cukup mudah dicerna karena kemudian mereka berhasil membuat puisi pendek dan berani membacakan puisinya di depan peserta lainnya (atau penerjemahnya yang bagus ya....hehehe...boleh dong bangga:))
Tugas mendampingi yang devi pikir paling sulit adalah ketika mendampingi Chin Yahan, pendongeng dari Kamboja. Bebeda dengan Carla, Chin Yahan orangnya sangat pendiam dan tenang sekali, bahkan terlalu tenang. Ketika di panggung pun dia sama sekali tidak berekspresi. Mba Rika yang bertugas menerjemahkannya yang harus berusaha keras membuat ceritanya menarik untuk anak-anak. Dengan kondisi seperti itu, pada workshop Chin Yahan malah harus membawakan materi belajar mendongeng. Jujur awalnya devi ga kebayang akan seperti apa jadinya. Tapi ternyata justru di kelas inilah devi banyak mendapat materi mendongeng. Pertama-tama Chin Yahan bertanya ke peserta apa yang ingin mereka ketahui dari kelas ini. Para peserta ingin tahu cara metodologi mendongeng yang menarik. Lalu kemudian bergulir tanya jawab antara Chin Yahan dan peserta, dan dari pertanyaan dan jawaban itu Chin Yahan mengambil kesimpulannya. Setelah itu dilanjutkan dengan praktek mendongeng. Setelah salah satu peserta mendongeng maka peserta yang lainnya diminta menilai dan alasannya. Alasannya tentu saja diambil dari kesimpulan yang tadi diutarakan Chin Yahan. Dengan melakukan cara ini berkali-kali peserta pun jadi lebih faham dan ingat. Ternyata benar, don't judge the book by its cover. Di balik "kekaleman" Chin Yahan terdapat samudra yang sangatttt luaasss.
Mendampingi pendongeng dari Brunei malah menambah pengetahuan tentang negara kecil tersebut. Setelah Pak Cik Pawi dan Pak CiK Kifli mendongeng Si-Amas dengan menggunakan power point kami malah ngobrol tentang negara Brunei. Mereka berdua bercerita tentang Kampung Air juga tentang Sultan Brunei yang baru melangsungkan perayaan ulang tahunnya ke 62 yang berlangsung selama 2 pekan. Berhubung peserta sore itu berasal dari komunitas anak jalanan, harapannya dari obrolan yang cuma sejenak itu bisa memberikan inspirasi buat mereka bahwa dunia diluar sana luas dan siapa tahu salah satu dari mereka jadi punya cita-cita pergi ke sana (hopefully sih ga jadi TKI).
Mendampingi 2 ibu dari Malaysia devi malah mendapat tawaran sekaligus tantangan. Kelasnya waktu itu cuma diikuti oleh 3 peserta. Materi yang dibawakan adalah menulis cerita dan editing. Karena waktunya tidak mencukupi Ibu Izzah meminta kita mengirimkan cerita yang kerangkanya sudah dibuat di workshop itu ke dirinya setelah usai acara. Dan kalau bagus ia bersedia memasukan cerita tersebut ke salah satu majalah anak di malaysia dan mendapat bayaran. Tujuan bu Izzah supaya peserta bisa merasakan gimana jadi penulis yang sesungguhnya. mudah-mudahan saja ini ada follow up berikutnya. Dari kelas ini devi mendapat solusi dari kesulitan devi klo ingin menulis cerita, yaitu kerangka cerita. Devi sering bingung dengan akhir cerita yang sedang devi tulis. Dannnn jawabannya ada di proses membuat kerangka cerita. Yup, masukan yang berguna sekali!
Hari terakhir devi berkesempatan mengikuti kelasanya Wajuppa Tosa dari Thailand. Devi senang sekali bisa ikut kelasnya. Devi kebetulan tidak dijadwalkan mendampingi Wajuppa sejak semula, tapi berhubung pendongeng yang harus devi dampingi tiba-tiba tidak bisa mengadakan workshop karena terlalu lelah, langsung saja devi cabut ke kelasnya Wajuppa. Dan benar saja, kelasnya sangat menyenangkan. Wajuppa sangat mirip dengan Margaret MacDonald dalam mendongeng. Cerita-ceritanya simpel tapi menyenangkan. Selalu saja kami bisa dibawanya hanyut dan ikut berpartisipasi dalam cerita. Dan yang paling menyenangkan buat Devi, Wajuppa sempat membawakan cerita tentang menggosok gigi. Wah pas banget buat devi yang lagi ngajarain Qaisha menggosok gigi. Adanya lagunya lagi. Mudah-mudahan saja devi ga lupa nadanya...hehehe...
Hari terakhir festival ini ditutup dengan seminar (Senin 4/8) dengan pembicara semua pendongeng yang diundang. Devi ga banyak ikut serta hari itu karena bertugas menjaga buku yang sedang dipamerkan. Senang juga jagain buku yang dibawa para pendongeng itu karena devi jadi berkesempatan membaca buku itu satu persatu. Jadi bisa membandingkan perkembangan buku anak di negara-negara ASEAN. Menurut devi buku-buku anak dari Kamboja dan dan Laos kondisinya seperti perbukuan anak di Indonesia tahun 70-80-an. Di Thailand tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Filipina devi pikir sedikit lebih baik. Buku-buku non fiksinya bisa diolah dan ditampilkan dengan sangat menarik. Sedangkan Malaysia, devi pikir, sedikit di bawah Indonesia. Mungkin karena yang dibawa buku-buku terbitan lama. Buku-buku Jepang lebih meriah dan ilustrasinya sedikit lebih jenaka.
Salah satu buku yang dibawa Wajuppa adalah bukunya Margaret MacDonald yang berisi tentang pengalamannya mendongeng di berbagai negara dan menggunakan penerjemah dan/atau tandem dengan orang lokal. Isi buku tersebut lebih untuk menunjukkan bahwa jika suatu saat kita berkesempatan mendongeng di suatu tempat yang memiliki bahasa yang sangat berbeda maka itu bukanlah masalah. Penerjemah yang akan menjembatani perbedaan bahasa itu. Tapi menterjemahkan di sini berbeda dengan menterjemahkan biasa, karena yang dibawa adalah cerita untuk anak-anak. Di buku tersebut bu Murti menyumbang sebuah tulisan tentang tips dan trik mengelola penerjemah tersebut. Menurut bu Murti menterjemahkan di sini tidak bisa dianggap "sekedar" menterjemahkan tapi bisa disebut dongeng berduet atau tandem.
Dan yang lebih menyenangkan dari membaca bukunya Margaret, selain apa yang ditulis di sana amat sangat devi kenal, adalah devi menemukan nama devi tercantum di buku tersebut sebagai salah satu pendongeng yang suka dipasangakan dengan Margaret. Dengan amat sangat lengkap Margaret menulis nama Devi dan dianggap memiliki kemampuan komunikasi ke audiens dengan sangat baik... (suit...suit..) Bangganya! Padahal itu cuma satu kalimat dan orang ga akan kenal siapa itu Devina Erlita Farahsari, tapi tetap rasanya senangnya bukan main. Devi merasa sangat dihargai oleh pendongeng pujaan devi; Margaret Read MacDonald. (Harus punya bukunya nieh!)
Begitulah selintas cerita tentang ASEAN Storytelling Festival kemarin. Rindu devi pun terbayar lunas. Entah apa masih bisa dapat kesempatan seperti ini lagi besok-besok. Tapi yang jelas, meski lelah sesudahnya, devi sangat bahagia. Storytelling always makes me happy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar